Minggu, 13 Mei 2012

Perjuangan Santri dan Ulama Ponpes Babakan Ciwaringin Cirebon Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Negeri



Pada 1808, seorang Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels (1762-1818) membangun jalan sepanjang 1.000 kilometer yang terbentang dari Anyer, Jawa Barat, sampai Panarukan, Jawa Timur.

Daendels merupakan satu-satunya Gubernur Jenderal yang tidak diangkat Ratu Belanda, melainkan diangkat Maharaja Louis Bonaparte, adik kandung Napoleon Bonaparte, untuk memegang kekuasaan di Jawa. Waktu itu, Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis. Dan, Napoleon mengangkat adiknya sebagai raja Belanda.

Untuk memperlancar gerak pasukan, Daendels berencana membangun “jalan raya pos” yang sekarang lebih dikenal dengan “jalan Daendels”. Ia khawatir sewaktu-waktu Inggris datang menyerang. Dalam membangun mega proyek itu, Daendels menggunakan ‘tangan besi’. Ia memaksa sultan dan bupati untuk mengerahkan ribuan pekerja rodi, tanpa dibayar sepeserpun. Akibatnya, ribuan orang terkapar mati di jalan yang sekarang kita nikmati itu. Setiap ada perlawanan, selalu ditekan dan dibungkam.

Pramoedya Ananta Toer melukiskan pembangunan jalan itu sebagai genosida, pembunuhan masal. Para petani, waktu itu menganggap Daendels sebagai momok menakutkan. Bahkan, orang-orang Belanda di Batavia menyebutnya sebagai pengkhianat karena lebih setia pada Napoleon. Sebagai wujud kesetiaannya itu, ia pernah mengibarkan bendera Perancis di Batavia. Padahal, orang Belanda lebih senang dijajah Inggris ketimbang Perancis.

Kisah Daendels berakhir setelah jabatannya dicopot pada 1811. Jalan yang disebut Daendels La Grande Route itu merekam sejarah kelam yang mengendap dalam ingatan kolektif bangsa ini. Namun, bagi ulama dan santri Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, sejarah Daendeles merupakah sejarah perlawanan, pertentangan, sekaligus kisah heroik.

Kiai Hasanuddin, pendiri pesantren yang dibangun pada 1715 itu, adalah salah seorang pahlawan yang lantang melakukan perlawanan terhadap kebijakan Daendels. Hasanuddin, atau lebih dikenal dengan Kiai Jatira, bersama masyarakat dan santri-santrinya, memindah patok-patok pengukur jalan agar tidak mengenai tanah masyarakat dan pesantren yang dirintisnya.

Bagi Kiai Jatira, Daendels tidak hanya mengambil tanah rakyat secara paksa, berupaya menghambat dan membunuh pendidikan, melainkan sudah merenggut hak-hak dan kebebasan rakyat dalam menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri. Karena itu, ia bersama para santri dan masyarakat melakukan pembelaan, perlawanan, dan perjuangan untuk mendapatkan kembali hak-hak dan kebebasannya itu.

Waktu itu,  Kiai Jatira dituduh telah melakukan tindakan makar, melawan negara, pemberontak, menghambat pembangunan, dan tuduhan-tuduhan lain yang sengaja dibuat dan diciptakan pemerintah kolonial. Sejatinya, tuduhan-tuduhan tersebut hanyalah “alat pembenaran” untuk melumpuhkan, membungkam, menekan, dan menghentikan perlawanan Kiai Jatira. Namun, meski mendapatkan stereotype seperti itu, Kiai Jatira bersama santri dan masyarakat, tetap berkeyakinan bahwa kebenaran, keadilan, kebebasan, harga diri, dan kedaulatan harus tetap dimiliki dan terus diperjuangkan sampai tetes darah penghabisan.

Neo kolonialisme-imperialisme

Setelah penjajah hengkang dari Nusantara, Pesantren Babakan, Ciwaringin, kembali berurusan dengan “jalan”. Kali ini, terusik oleh rencana pembangunan jalan tol Cikapali (Cikampek-Palimanan)—salah satu mega proyek tol trans-Jawa yang meniru proyek Daendels.

Tentu saja rencana tersebut mendapat penolakan luar biasa dari para ulama, santri, dan masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran  (26/8/2007, 30/11/2007, dan 29/1/2008) menentang proyek yang diperkirakan menghabiskan Rp 4,3 triliun itu. Apalagi trase yang akan dilalui jalan tersebut rencananya akan mengenai tanah pesantren. Darah kepahlawanan yang mengalir dalam tubuh cucu-cucu penerus Kiai Jatira seketika itu mendidih. Api perlawanan kembali dinyalakan.

Kiai, para santri, dan masyarakat meyakini perjuangan mereka saat ini paralel dengan apa yang dilakukan Kiai Jatira dulu ketika melawan Daendeles. Para kiai keberatan karena tanah yang akan dilalui tol adalah tanah ulayat (wasiat/wakaf), yang hanya diperuntukkan untuk pengembangan pesantren ke depan. Di sekelingnya terdapat puluhan lembaga pendidikan dan pondok pesantren yang berbaur dan menyatu dengan pemukiman masyarakat. Keberadaan tol tidak hanya mengganggu proses belajar mengajar, melainkan akan berdampak langsung terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat pesantren, dan menghambat pengembangan pesantren ke depan.

Di samping itu, para kiai dan masyarakat memiliki ikatan emosional dan sejarah yang kuat terhadap tanah tersebut, sehingga tidak mungkin digantikan dengan tanah lain. “...tanah tersebut merupakan amanat leluhur kami agar dijadikan sebagai tempat untuk kepentingan pendidikan,” kata KH Makhtum Hannan, sesepuh dan tokoh kharismatik Pesantren Babakan, Ciwaringin, suatu ketika.

Sejatinya, kalau kita telisik kasus ini lebih dalam lagi, problemnya bukan hanya sebatas tanah, masa depan pendidikan, atau soal setuju/tidak terhadap “pembangunan”, melainkan sudah menyentuh soal hak, kebebasan, dan keadilan. Mereka punya hak dan kebebasan untuk mengolah tanah dan menentukan sendiri masa depan mereka. Penolakan hanyalah salah satu bentuk resistensi masyarakat tradisional terhadap “modernisme” atau “pembangunanisme” yang acapkali merugikan dan tidak berpihak pada mereka.

Dengan dalih “pembangunan”, “untuk kepentingan umum”, atau “meningkatkan perekonomian rakyat”, penguasa seringkali tega merampas dan mengorbankan tanah rakyat, seperti untuk pembangunan jalan layang, jalan tol, plaza dan supermarket, pembangunan waduk, PLTU/PLTN, proyek perkebunan, atau pembangunan tempat-tempat hiburan dan sarana olahraga untuk orang-orang kaya.

Kalau kita mau jujur, sebetulnya siapa yang diuntungkan? Rakyat, penguasa, atau segelintir orang yang memiliki modal besar? Yang jelas, jawabannya bukan rakyat. Rakyat hanyalah “tumbal” pembangunan. Karena itu, kalau memang negara ini punya rakyat, penguasa seharusnya berpihak dan memperjuangkan hak-hak rakyat, menyuarakan kepentingan dan kemauan mereka, dan mengedepankan pembangunan yang pro-rakyat dengan tidak terus menjadikan rakyat sebagai “sesajen” untuk kepentingan pemodal.

Demonstrasi ribuan santri, ulama, mahasiswa dan masyarakat Babakan, Ciwaringin, Cirebon, menolak tol Cikapali memiliki latar belakang sejarah yang panjang. Secara simbolik, mereka sebetulnya sedang melawan kolonialisme-imperialisme baru yang mewujud dalam kekuatan-kekuatan maha besar-negara, pemodal, atau MNC (Multinasional Coorporation)—yang merenggut hak-hak, kebebasan, dan keadilan kaum lemah dan terpinggirkan.

Penulis adalah Ketua Komunitas Seniman Santri, Staf Pengajar pada Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar